
SUARA GEMILANG NUSANTARA
Sarolangun – Praktik dugaan pungutan liar (pungli) dalam Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) mencuat di Desa Pelawan Jaya, Kecamatan Pelawan, Kabupaten Sarolangun. Sebanyak 75 warga mengaku dipungut biaya sebesar Rp 600 ribu per orang oleh pihak desa—angka yang jauh melampaui ketentuan resmi.
Padahal, dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri yakni Menteri ATR/BPN, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Desa PDTT, disebutkan bahwa biaya maksimal yang boleh dibebankan kepada masyarakat dalam program PTSL hanya Rp 200 ribu. Menurut 3 mentri (ATR BPN, Mendagri dan Kemendes) .
Pungutan ini tidak hanya dilakukan secara lisan, melainkan dituangkan dalam surat pernyataan bermaterai Rp 10 ribu yang ditandatangani warga. Salah satu warga, Hermansi, menyebutkan bahwa dirinya menyerahkan dana Rp 600 ribu langsung kepada perangkat desa demi mendapatkan sertifikat tanah.
“Biaya itu kami bayar agar bisa ikut PTSL. Tapi kami tahu, biaya resminya tidak sebesar itu. Kami hanya ikut saja karena disuruh tanda tangan surat bermaterai,” ujar Herman.
Muncul dugaan kuat bahwa pungutan dilakukan dengan unsur pemaksaan dan penyalahgunaan jabatan, yang mengarah pada pelanggaran hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf e UU Tindak Pidana Korupsi:
“Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang memberikan sesuatu…”
Ironisnya, saat informasi ini diberitakan oleh media SuaraIndonesia1.com, dua wartawannya, Djarnawi Kusuma dan Depi Afrijal, justru mendapat tekanan dan dilaporkan atas dugaan pemerasan.
Langkah tersebut dinilai sebagai bentuk kriminalisasi terhadap kerja jurnalistik, padahal pemberitaan dilakukan berdasarkan fakta, bukti dokumen, dan kesaksian warga.
Kerja wartawan dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, di antaranya:
Pasal 4 ayat (3): Pers nasional berhak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi.
Pasal 8: Wartawan mendapat perlindungan hukum dalam menjalankan profesinya.
Pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan semestinya menempuh hak jawab atau mengadukan ke Dewan Pers, bukan dengan laporan pidana.
Masyarakat Desa Pelawan Jaya bersama awak media mendesak aparat hukum, mulai dari Kejaksaan Negeri Sarolangun, Inspektorat Daerah, hingga Tim Saber Pungli, untuk mengusut tuntas dugaan pungli ini.
“Kalau kasus seperti ini dibiarkan, hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas,” ujar salah satu tokoh masyarakat yang enggan disebutkan namanya.
Kasus ini menjadi ujian serius bagi integritas penegak hukum dan kebebasan pers di Sarolangun. Jika pungli dibiarkan dan wartawan dibungkam, maka publik kehilangan harapan akan keadilan.
Redaksi SuaraIndonesia1.com menegaskan komitmennya untuk terus mengawal kasus ini hingga tuntas.
Pers bukan musuh, tapi pilar keempat demokrasi yang wajib dilindungi.
(Tim Sarolangun)