SUARA GEMILANG NUSANTARA
Sarolangun – Di tengah gencarnya kebijakan efisiensi anggaran pemerintah, masyarakat dituntut untuk lebih bijak dan kreatif dalam berpartisipasi membangun daerah. Namun, di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa efisiensi akan membuat pembangunan semakin lambat dan peran masyarakat makin berkurang.
Akhyar Mubarrok, S.Ag., M.A.P., seorang pemerhati sosial dan akademisi, menilai bahwa tantangan ini justru bisa menjadi momentum untuk menghidupkan kembali modal sosial (social capital) masyarakat, yaitu kekuatan gotong royong, kepercayaan, dan jejaring sosial yang telah lama menjadi ciri khas bangsa Indonesia.
“Efisiensi seharusnya tidak dipahami sebagai pengurangan pembangunan, tetapi sebagai upaya memaksimalkan hasil dengan sumber daya yang terbatas. Di sinilah peran masyarakat menjadi sangat penting,” ujar Akhyar.
Gotong Royong yang Mulai Luntur
Akhyar menyoroti fenomena menurunnya semangat kebersamaan di tengah masyarakat, terutama di pedesaan. Jika dulu masyarakat bahu-membahu memperbaiki jalan atau membangun fasilitas umum tanpa menunggu bantuan pemerintah, kini banyak yang memilih menunggu datangnya dana desa atau bantuan resmi.
“Masalah kecil seperti selokan mampet di halaman rumah pun kini sering menunggu tindakan pemerintah. Padahal, nilai luhur seperti berat sama dipikul, ringan sama dijinjing sudah lama menjadi jati diri bangsa,” tuturnya.
Fenomena apatis dan individualistis itu, kata Akhyar, menjadi tanda mulai pudarnya modal sosial di masyarakat. Padahal, keberhasilan pembangunan sangat bergantung pada partisipasi warga dan nilai-nilai kearifan lokal yang hidup di tengah masyarakat.
Adat Melayu Jambi: Sumber Nilai Partisipatif
Dalam konteks Jambi, nilai adat istiadat sebenarnya telah lama menjadi fondasi kuat bagi partisipasi masyarakat. Melalui seloko adat, masyarakat diajarkan untuk saling membantu, menjaga kepercayaan, dan menghormati satu sama lain.
Seloko seperti “tudung menudung bak daun sirih, jahit menjahit bak daun petai, ado samo dimakan, idak samo dicari” mengajarkan pentingnya gotong royong dan kebersamaan. Sementara nasihat “jangan menohok kawan seiring, jangan menggunting dalam lipatan” menekankan nilai kepercayaan dan kejujuran dalam kehidupan sosial.
“Nilai adat ini adalah warisan yang harus dijaga. Ia bukan sekadar kata-kata, tetapi pedoman hidup untuk memperkuat kepercayaan dan jejaring sosial antar warga,” jelas Akhyar.
Peran Strategis Lembaga Adat
Akhyar juga menekankan pentingnya memperkuat peran Lembaga Adat sebagai motor pelestarian nilai-nilai sosial. Menurutnya, lembaga adat tidak boleh hanya hadir saat acara seremonial atau kegiatan politik, tetapi harus berperan aktif dalam membentuk karakter dan perilaku masyarakat.
“Lembaga adat harus bertransformasi menjadi mitra strategis pemerintah. Mereka punya peran besar dalam menanamkan nilai moral, tanggung jawab, dan semangat partisipasi,” tambahnya.
Ia juga mendorong pemerintah untuk memperbanyak program pembinaan dan penguatan kelembagaan adat agar tetap relevan dengan tantangan zaman.
Kolaborasi Adat dan Agama
Lebih jauh, Akhyar mengingatkan bahwa nilai-nilai adat sejatinya bersumber dari ajaran agama. Prinsip “adat bersendi syara’, syara’ bersendi Kitabullah” harus terus dijaga sebagai pedoman harmoni antara budaya dan agama.
Dengan kolaborasi antara pemuka adat dan pemuka agama, masyarakat diyakini bisa menemukan kembali ruh kebersamaan dalam setiap kegiatan pembangunan.
Efisiensi Bukan Ancaman
Pada akhirnya, Akhyar menegaskan bahwa efisiensi anggaran bukanlah hal yang perlu ditakuti. Justru, dengan menghidupkan kembali modal sosial berbasis adat, efisiensi dapat menjadi jalan menuju kemandirian dan kesejahteraan bersama.
“Jika nilai adat, kepercayaan, dan gotong royong tumbuh kembali, maka keterbatasan anggaran tidak akan menjadi penghalang pembangunan. Justru menjadi pemicu untuk bersama-sama membangun negeri,” pungkasnya.
(4091)








