
SUARA GEMILANG NUSANTARA
Sarolangun – Bangunan SMP Negeri 27 Sarolangun, yang terletak di Desa Seko Besar, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi, kini menjadi sorotan publik. Kondisinya memprihatinkan dan memunculkan pertanyaan serius soal transparansi penggunaan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Berdasarkan Keputusan Mendikdasmen Nomor 8/P/2024, alokasi Dana BOS Nasional sebesar Rp1.160.000 per siswa per tahun mulai berlaku sejak Januari 2025. Namun, kondisi fisik sekolah ini jauh dari layak, mengindikasikan potensi kelalaian atau bahkan penyimpangan dalam pengelolaan dana pendidikan.
Pantauan langsung di lapangan menunjukkan fakta mencengangkan: atap sekolah rusak parah, plafon menggantung, dinding terkelupas, dan cat bangunan yang pudar, semuanya menyatu dalam wajah sekolah yang kian kusam dan tak terurus. Meski kerusakan tergolong ringan hingga sedang, situasi ini jelas mengancam kenyamanan dan keselamatan para siswa dan guru.
“Sekolah ini tempat anak-anak kami belajar. Kalau dibiarkan terus seperti ini, bisa-bisa ambruk. Kami minta perhatian serius dari pemangku kebijakan,” tegas seorang wali murid dengan nada kecewa.
Lebih miris lagi, pihak sekolah mengaku sudah berkali-kali mengajukan permohonan perbaikan, namun tidak ada tindak lanjut berarti dari instansi terkait. Situasi ini memperkuat anggapan bahwa ada pembiaran sistematis terhadap kerusakan sarana pendidikan.
Masyarakat bertanya-tanya: Ke mana aliran dana BOS selama ini? Apakah anggaran yang seharusnya digunakan untuk perawatan dan perbaikan sekolah telah digunakan sesuai peruntukan?
Pemerintah Kabupaten Sarolangun, khususnya Dinas Pendidikan, diminta segera turun tangan. Jangan sampai anak-anak daerah dikorbankan akibat kelalaian birokrasi.
Saat anak-anak bangsa berjuang menuntut ilmu di tengah keterbatasan, aparat negara justru terkesan menutup mata. Sudah saatnya dilakukan audit terbuka terhadap penggunaan Dana BOS di SMP 27 Sarolangun dan sekolah lainnya yang mengalami kondisi serupa.
Jika tidak segera ditangani, kerusakan ini bukan hanya menjadi ancaman fisik, tapi juga simbol gagalnya negara menjamin hak pendidikan yang layak bagi seluruh warganya.
(Yogi)