
SUARA GEMILANG NUSANTARA
Sarolangun, 25 Juli 2025 – Pemerintah Kabupaten Sarolangun belakangan gencar memasang ucapan selamat, promosi kegiatan, hingga baliho digital Bupati dan pejabatnya di media sosial seperti Facebook. Langkah ini menuai kritik keras: dinilai melemahkan peran media resmi dan diduga mengabaikan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Reklame.
Perda tersebut secara tegas mengatur jenis dan ukuran reklame yang wajib memiliki izin, didata, serta menyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD). Reklame dimaksud mencakup tidak hanya billboard dan neon box, tetapi juga selebaran, spanduk, videotron, running text, dan bentuk reklame elektronik lainnya.
“Kalau pemerintah hanya pasang iklan di Facebook atau akun pribadi tanpa mekanisme resmi, sama saja meniadakan pendataan dan kontribusi pajak reklame untuk daerah. Ini harus dikritisi,” ungkap seorang aktivis media lokal Sarolangun yang meminta namanya tidak dipublikasikan.
Penggunaan Facebook dinilai lebih murah, bahkan nyaris gratis, dibanding jalur resmi. Namun cara ini menimbulkan sejumlah risiko serius:
1. Tidak menyumbang PAD ke kas daerah.
2. Tidak melalui mekanisme resmi pengadaan publikasi.
3. Tidak diawasi oleh redaksi media berbadan hukum.
4. Rentan jadi sarana pencitraan sepihak.
5. Mematikan peran dan ekonomi media lokal.
Padahal, pemerintah daerah seharusnya menggandeng media massa resmi yang terverifikasi di Dewan Pers. Selain menjaga profesionalisme, publikasi melalui media resmi juga membuka ruang kritik, konfirmasi, serta mendukung keberlangsungan media lokal sebagai pilar demokrasi.
“Kalau semua serba diposting di Facebook, apa gunanya perda reklame dibuat? Apa gunanya ada wartawan dan media resmi?” sindir seorang jurnalis senior Sarolangun.
Praktik ini memunculkan sejumlah pertanyaan yang wajar dari publik:
1. Apakah iklan ucapan dan promosi kegiatan pejabat di Facebook memiliki izin reklame sesuai Perda?
2. Jika menggunakan dana APBD, apakah melalui proses pengadaan resmi?
3. Di mana kontribusi PAD dari reklame digital tersebut?
4. Mengapa lebih memilih media sosial ketimbang media resmi yang memiliki tanggung jawab redaksi?
Di era keterbukaan informasi, masyarakat berhak tahu:
Berapa biaya promosi kegiatan pejabat di Facebook?
Apakah sudah sesuai Perda?
Dan, apakah pemerintah sungguh mendukung keberlangsungan media lokal, atau justru membiarkan mereka mati perlahan?
“Perda dibuat bukan hanya sebagai formalitas, tetapi untuk dipatuhi demi kebaikan bersama,” pungkas sumber tersebut.
(Yogi)