SUARA GEMILANG NUSANTARA
Sarolangun — Aktivitas penambangan pasir dan batu (sertu) di aliran sungai wilayah Desa Lubuk Sepuh, Kecamatan Pelawan, Kabupaten Sarolangun kembali menjadi sorotan publik. Kegiatan tersebut diduga kuat beroperasi tanpa izin resmi (Galian C) dan tidak memberikan kontribusi pajak kepada pemerintah daerah.
Menurut informasi yang dihimpun, aktivitas ini sudah berjalan cukup lama dan bahkan disebut-sebut mendapat dukungan dari pemerintah desa setempat. Hal tersebut diungkapkan oleh Ahmad Shodiqin, seorang aktivis pemerhati lingkungan dan sosial dari Sarolangun.
“Kegiatan penambangan sertu di Desa Lubuk Sepuh Kecamatan Pelawan ini tidak memiliki izin galian C. Tidak ada pajak atau pemasukan untuk PAD Sarolangun. Bahkan, ada dugaan pungutan sebesar Rp50.000 per mobil yang disebut-sebut untuk desa,” ujar Ahmad Shodiqin kepada wartawan.
Ahmad menambahkan, dugaan pungutan tersebut terindikasi sebagai praktik pungutan liar (pungli) yang mengatasnamakan desa, dan meminta Inspektorat Kabupaten Sarolangun untuk segera melakukan audit serta investigasi terhadap pihak-pihak terkait.
Dari hasil pantauan lapangan, terlihat sejumlah alat berat jenis ekskavator dan truk pengangkut material beroperasi di tepi sungai. Aktivitas itu diduga melibatkan oknum aparat TNI sebagai pemilik usaha, meski kebenarannya masih perlu dikonfirmasi oleh pihak berwenang.
Saat dikonfirmasi, Kepala Desa Lubuk Sepuh belum memberikan tanggapan resmi terkait dugaan aktivitas penambangan ilegal di wilayahnya.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan Dinas ESDM Provinsi Jambi juga belum memberikan keterangan mengenai adanya izin galian C di lokasi tersebut.
Aktivis menilai, aparat penegak hukum serta instansi pengawas seperti Polres Sarolangun, DLH, dan Inspektorat harus turun langsung ke lapangan untuk memeriksa legalitas kegiatan serta potensi kerugian daerah akibat tidak adanya pemasukan pajak.
“Kami minta aparat segera turun tangan. Jangan sampai aktivitas tambang ilegal terus dibiarkan karena berdampak pada lingkungan dan merugikan keuangan daerah,” tutup Ahmad.
(4091)








